Jalan Pintas yang Menginjak Hukum
OPINI — Perambahan hutan negara adalah tindakan kriminal yang nyata. Namun kini, kita dihadapkan pada fenomena memilikan: praktik ilegal pembakaran, penggundulan, dan perampasan kawasan hutan tiba-tiba "dihaluskan" melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara perambah dan Perhutani.
Bagaimana mungkin kejahatan lingkungan yang merugikan negara dan ekosistem justru "dilegalkan" melalui mekanisme administratif?
Dari Brutalitas ke Legalitas Semu
Fakta di lapangan mengungkap pola sistematis:
1. Metode perambahan keji: Pembakaran lahan, penghancuran tutupan hutan, dan alih fungsi ekosistem untuk komoditas ekonomi.
2. Pembiaran sistematis: Tidak ada penindakan ketika kejahatan terjadi, tetapi muncul tiba-tiba saat lahan mulai produktif.
3. Legalisasi curang: Proses pendataan dan PKS hanya mengukuhkan kuasa perambah, bukan memulihkan kerusakan.
Pertanyaan kritis:
- Di mana penegakan hukum saat pembakaran terjadi?
- Mengapa negara baru bertindak setelah aset hijau beralih menjadi lahan produktif ilegal?

Dugaan Pungli dan Bisnis Kotor di Balik Hutan
Masalah semakin kompleks dengan indikasi:
- Praktik pungutan liar oleh oknum dalam proses legalisasi
- Sharing profit tidak transparan antara perambah dan pihak tertentu
- Institusi kehutanan yang seharusnya menjadi penjaga malah terkesan menjadi "makelar kerusakan"
Ini membuktikan: Pembiaran kejahatan hutan membuka ladang korupsi baru.
Normalisasi Kejahatan = Bom Waktu Ekologis
Jika pola ini terus dibiarkan:
1. Preseden buruk: "Ramhang dulu, urusan legalitas belakangan" akan menjadi norma baru.
2. Ketidakadilan: Masyarakat patuh hukum akan menjadi korban.
3. Krisis legitimasi: Negara kehilangan kewibawaan sebagai penegak hukum.
Perjanjian kerja sama seharusnya dibangun di atas:
Bukan pada
❌ Pembenaran kejahatan
❌ Pembagian keuntungan kotor

Pilihan Tegas untuk Hutan dan Hukum
Negara harus:
1. Menghentikan segala bentuk PKS dengan pelaku perambah.
2. Menindak tegas oknum yang mengkomersialisasi kerusakan hutan.
3. Memprioritaskan rehabilitasi ekosistem daripada negosiasi dengan perusak.
Jika tidak, kita bukan hanya kehilangan hutan, tetapi juga martabat sebagai negara hukum.
Negara Harus Tegas: Penegak Hukum, Bukan Perebut Kepentingan
Fungsi Negara yang Terdistorsi
Institusi kehutanan seperti Perhutani seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan hutan negara. Namun, fakta bahwa mereka justru menjadi fasilitator legalisasi bagi perambah mengubah peran negara dari penegak hukum menjadi makelar kebijakan.
Pertanyaan kritis:
- Apakah negara kini sekadar perantara kepentingan sekadar jangka pendek?
- Bagaimana mungkin kerja sama bisa menghapus status pidana perambahan?
### Tuntutan Akuntabilitas
Masyarakat berhak mengetahui:
1. Kriteria mitra dalam PKS:
- Apakah pelaku perambahan telah melalui proses hukum?
- Adakah indikator objektif seleksi mitra?
2. Transparansi profit sharing:
- Untuk kepentingan negara atau kelompok tertentu?
3. Partisipasi publik:
- Apakah proses melibatkan pemangku kepentingan lokal?
Tanpa jawaban jelas, PKS hanyalah legalisasi kejahatan berkedok kolaborasi.
Jalan Keluar: Hukum, Bukan Kompromi
Solusi tegas yang diperlukan:
✔ Penindakan hukum terhadap pelaku perambahan
✔ Rehabilitasi ekosistem oleh negara
✔ Prioritas pengelolaan untuk:
- Masyarakat adat
- Kelompok tani legal
- Komunitas pelestari
Hutan adalah warisan publik, bukan komoditas yang bisa diklaim melalui kejahatan lalu dilegalkan.
Peringatan Keras
Jika pola ini terus berlanjut:
⚠ Ekspansi kejahatan ke sektor lain
⚠ Erosi kepercayaan masyarakat pada negara
⚠ Kematian perlahan untuk hutan dan hukum
Penutup
Perjanjian kerja sama haruslah alat memperkuat tata kelola, bukan mengubur kejahatan. Negara wajib hadir sebagai:
- Penegak hukum yang adil
- Pelindung moralitas publik
- Penjaga warisan ekologis
Kompromi atas nama pembangunan adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan generasi mendatang.
Oleh: H. Mawiryanto Winarno, S.E
Ketua Umum LSM Teropong