Situbondo,www.mediateropongtimur.co.id
20 November 2025 – Jeratan rentenir berkedok koperasi harian atau "bank plecit" di Situbondo telah mencapai titik nadir. Intimidasi dan penghinaan keji yang dilakukan penagih utang terhadap seorang nasabah, sebut saja AC (Inisial korban) dari Talkandang, mengungkap betapa lemahnya perlindungan Pemerintah Daerah terhadap warganya yang paling rentan.
AC kini hidup dalam ketakutan, bersembunyi di rumah bersama istrinya yang sakit. Ia tak berani keluar karena penagih utang kejam dilaporkan menunggu di luar rumah, menciptakan teror psikologis yang menghancurkan.
Melalui tangkapan layar percakapan (chat) yang beredar, penagih tersebut menggunakan bahasa Madura yang sangat merendahkan dan menghina. Beberapa frasa kotor yang digunakan, di antaranya:
-"Patek rehh" (Kata yang sangat kasar, merujuk pada anjing atau binatang).
-"Mak pok makopok Ben cembuk en" (Frasa yang sangat kotor, secara langsung menghina dan melecehkan orang tua nasabah).
-"Nyuat ra colok en been" (Ancaman untuk untuk membuka suara).
Perlakuan ini bukan hanya melanggar etika penagihan, tetapi juga berpotensi melanggar hukum pidana.
Tindakan mengirimkan pesan bernada ancaman, penghinaan, dan pelecehan verbal melalui media elektronik (chat WhatsApp) memiliki konsekuensi hukum yang serius.
*Penagih yang melakukan tindakan tersebut dapat dijerat dengan*:
1.Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE):
Pasal 27 ayat (3) tentang Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik melalui media elektronik. Pasal 29
tentang Ancaman Kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Keduanya dapat dikenai sanksi pidana penjara.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Pasal 310 tentang Pencemaran Nama Baik (jika unsur penghinaan dapat dibuktikan secara pidana umum).
Intinya, chat yang dilakukan penagih tersebut adalah Tindak Pidana. AC dan korban lainnya seharusnya tidak perlu bersembunyi; justru para pelaku yang harus menghadapi proses hukum.
Di tengah penderitaan warga miskin ini, peran Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kabupaten Situbondo patut dipertanyakan. Mereka terkesan mendiamkan praktik rentenir berkedok koperasi ini merajalela. Padahal, tugas mereka adalah melakukan pengawasan dan penertiban.
Kepada Bapak Bupati Situbondo, apakah perlindungan terhadap warga miskin dan rentan bukan menjadi prioritas utama?
Kasus AC yang kini hidup dalam teror adalah cerminan kegagalan sistem pengawasan di Situbondo. Jika Pemerintah Daerah tidak segera turun tangan, menertibkan lembaga-lembaga pinjaman berkedok koperasi yang melanggar hukum, serta memproses penagih yang melakukan kekerasan verbal, maka predikat Situbondo sebagai daerah yang melindungi warganya hanya akan menjadi isapan jempol belaka.
Sudah saatnya Bupati bergerak cepat, tidak hanya menginstruksikan pengawasan, tetapi juga memastikan korban seperti AC mendapatkan perlindungan hukum dan para pelaku intimidasi diseret ke meja hijau!
Pewarta: Yadik
